Probolinggo (GP-Ansor): Satu lagi kiai yang dikenal penyabar dan sangat dekat dengan warga, KH Muhammad Hasan Hafidzul Ahkam atau bisa disapa Nun Atong, telah berpulang untuk selamanya pada Jumat (18/8) lalu. Namun, kenangan akan Nun Atong tetap melekat di hati keluarga, sahabat dan warga yang selama ini dekat dengannya.
Innalillahi wainnailaihirajiun. Keluarga besar Ponpes Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan Kabupaten Probolinggo berduka. Salah satu pengasuhnya yaitu, KH Muhammad Hasan Hafidzul Ahkam atau biasa disapa Nun Atong, meninggal dunia dalam usia 39 tahun. Nun Atong meninggal setelah mengalami anfal akibat komplikasi jantung yang diidapnya sejak beberapa bulan lalu.
Sebelum Magrib atau sekitar pukul 17.00, hari Jumat (18/8) komplikasi jantung yang dialami Nun Atong kambuh. “Setelah mendapat pertolongan pertama, kami segera membawanya ke RSUD Waluyo Jati, Kraksaan,” tutur Gus Haris, keponakan Nun Atong yang berprofesi sebagai dokter.
Namun, selang satu jam kemudian, nyawa Nun Atong menurut Gus Haris tidak tertolong lagi. Dia menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 18.00. Nun Atong meninggalkan seorang istri dan dua anak.
Nun Atong sendiri sebenarnya sudah lama mengidap penyakit itu. Sekitar empat bulan yang lalu, dia sempat dirawat di RS Budi Mulia, Surabaya karena penyakit yang sama. Bahkan, Nun Atong sempat dirawat selama satu bulan di sana.
“Setelah satu bulan dirawat, terus sembuh dan kondisinya mendingan. Baru kemudian pulang. Ternyata tadi (kemarin) tiba-tiba kambuh dan meninggal,” terang KH Muhammad Hasan Syaiful Islam atau biasa disapa Nun Beng.
Gus Haris menambahkan, penyakit jantung memang penyakit yang tidak bisa diduga. “Memang sempat sembuh dan kondisinya membaik. Tapi penyakit jantung kan tidak bisa ditebak. Bisa kambuh sewaktu-waktu dan mendadak, seperti saat ini. Mungkin kondisinya parah sehingga tidak bisa tertolong,” katanya
Adik kandung KH Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah ini dimakamkan hari Sabtu (19/8) di pemakaman keluarga besar Ponpes Zainul Hasan. Kebetulan letaknya masih di dalam kompleks ponpes.
Ini dilakukan untuk menunggu keluarga lain datang. Juga menunggu keluarga yang menjemput dan memberitahu kedua anak Nun Atong. “Saat ini anak-anaknya sedang dijemput. Kebetulan anak-anaknya mondok di Lirboyo Kediri. Jadi pemakamannya tidak bisa dilakukan sekarang,” lanjut Gus Haris.
Siang itu sekitar pukul 09.50, pemakaman Nun Atong di asta, komplek pemakaman untuk keluarga besar Ponpes Zainul Hasan Genggong Kabupaten Probolinggo, dilakukan. Ribuan pelayat membanjiri pemakaman KH Muhamad Hasan Hafidzul Ahkam di Ponpes Zainul Hasan (Zaha), Genggong, Pajarakan. Tidak hanya sahabat dan saudara, warga, pejabat, ulama, dan tokoh masyarakat, menghadiri pemakaman Nun Atong, panggilannya. Mereka semua berkumpul dalam suasana khidmat di halaman tengah ponpes itu.
Beberapa ulama, tokoh masyarakat dan pejabat yang hadir antara lain, pengasuh Ponpes Nurul Jadid Paiton KH Zuhri Zaini, pengasuh Ponpes Nurul Qodim Paiton Nuruddin Busyiri, pengasuh Ponpes Riyadlus Sholihin Kota Probolinggo Habib Hadi, Ketua MUI KH Fauzi Imron, dan Sekretaris MUI H. Yasin. Juga hadir Kapolres Probolinggo AKBP Nana Sudjana, Ketua DPC PPP kabupaten H Mahdi, Kasat IPP Polres AKP Ridwan dan masih banyak yang lain.
Warga yang melayat menurut Taufik, warga sekitar, sudah berdatangan di area ponpes sejak Jumat malam. Dan sekitar pukul 05.00, Jl Raya Genggong yang melintasi Ponpes Zaha sudah dipenuhi pelayat dari berbagai daerah. “Mulai tadi malam sudah banyak yang datang. Dan pukul 05.00 waktu saya lewat sini, sudah banyak sekali pelayat yang datang,” tuturnya.
Pemakaman sendiri dilakukan lebih cepat sekitar setengah jam dari jadwal semula yang direncanakan pukul 10.00. Seluruh keluarga besar Ponpes Zaha hadir. Antara lain istri almarhum, Hj Aina Hamami dan dua putrinya, Via, 14, dan Nilna, 13. Termasuk Hj Diana Susilowati atau Ning Sus dan KH Muhamad Hasan Mutawakkil Alallah, mereka adalah dua saudara tertua diantara putra-putri almarhum KH Muhamad Hasan Syaifourridzal.
Jenazah Nun Atong diberangkatkan dari kediamannya, di Jl Raya Genggong dengan diiringi ribuan pelayat yang mengumandangkan tahlil. Saat itu, suasana duka sangat terasa di seluruh area Ponpes Zaha. Semua pelayat yang mengantar larut dalam kesedihan.
Maklum, semasa hidupnya Nun Atong memang dikenal sangat dekat dengan masyarakat. Dia juga dikenal ringan tangan dan sering membantu warga yang kesusahan tanpa mengenal pamrih.
Almarhum sendiri dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga besar Ponpes Zaha atau dikenal dengan sebutan asta, tidak jauh dari masjid di halaman tengah ponpes. Lokasinya sekitar 500 meter dari kediamannya.
Sementara jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam ayahandanya, almarhum KH Muhamad Hasan Syaifurridzal. Juga tidak jauh dari makam kiai sepuh, KH Muhamad Hasan, KH Sholeh Nahrawi dan mendiang suami Ning Sus, KH Damanhuri Romli.
Selama sekitar satu jam, warga khikmad mengikuti proses pemakaman hingga usai. Mereka semua baru berangsur-angsur beranjak dari lokasi ponpes sekitar pukul 12.00.
Ditemui usai pemakaman, Mutawakkil mengatakan, kepergian Nun Atong membuat dirinya merasa sangat kehilangan. “Di mata saya, beliau orang yang sangat sabar dan mengabdi pada umat. Meninggalnya beliau jelas membuat saya berduka,” katanya.
Namun, yang paling penting menurutnya saat ini yaitu memperhatikan orang-orang terdekat yang ditinggalkan Nun Atong, yaitu kedua putrinya Via dan Nilna. “Yang paling penting adalah putri-putri beliau yang masih kecil,” kata Mutawakkil.
Karena itu, Mutawakkil minta dukungan doa dari seluruh umat agar istri dan dua putri Nun Atong yang ditinggalkan dikaruniai ketabahan. “Semoga dengan cobaan yang berat ini mereka semakin tabah, kuat, dan tahan dengan ujian hidup,” tuturnya.
Ucapan belasungkawa atas meningalnya Nun Atong diterima keluarganya, ada Hj Diana Susilowati, KH Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah, KH Muhammad Hasan Syaiful Islam, ketiganya saudara Nun Atong. Ketiganya bergantian menerima pelayat yang terus mengalir.
Kiai Mutawakkil atau biasa disapa Nun Gudel dan Kiai Syaiful Islam atau biasa disapa Nun Beng, menerima pelayat di ruang tengah rumah induk di komplek ponpes itu. Keduanya ditemani keponakan mereka, Gus Haris. Sementara di ruang dalam, para pelayat perempuan diterima oleh Ning Sus, sapaan akrab Hj Diana Susilowati.
Wajah sedih masih terlihat jelas di wajah para saudara Nun Atong, terutama Kiai Mutawakkil. Walau tidak terlihat tetesan air, namun keduanya matanya terlihat sembab. Meski demikian, dia tetap sabar menerima pelayat yang datang. Termasuk wartawan yang ingin bicara dengannya.
“Mari silahkan duduk di sini. Ada yang bisa saya bantu?” Begitu sambutan ramah Kiai Mutawakkil pada beberapa wartawan yang datang. Dan tidak lama kemudian, Kiai Mutawakkil mengungkapkan rasa duka karena ditinggal adiknya itu.
Bagi Kiai Mutawakkil, Nun Atong adalah saudara yang selalu bersedia saat dimintai bantuan untuk menggantikan tugas-tugasnya. Terutama semua tugas yang berkaitan dengan pengabdian pada ummat. “Dia tidak pernah menolak atau mengeluh. Bahkan, dia selalu menawarkan diri untuk membantu tugas-tugas yang tidak bisa saya lakukan sendiri,” katanya.
Ibarat sebuah tubuh, Nun Atong adalah tangan kanan bagi Kiai Mutawakkil. “Bukan hanya dekat, selama ini beliau sangat dekat dengan saya. Bahkan bisa dikatakan sebagai tangan kanan saya,” sambungnya.
Tidak hanya Kiai Mutawakkil yang memiliki kenangan khusus terhadap Nung Atong. Beberapa rekannya juga merasakan hal yang sama. Dan itu semua tidak lepas dari sikap dan kepribadian Nun Atong yang dikenal low profile atau rendah hati, penyabar dan suka menolong tanpa mengenal pamrih.
Karena sifat-sifat yang dimilikinya itu, Nun Atong pun dikenal memiliki basis massa yang kuat. Dia dikenal sangat dekat dengan warga dan selalu bersedia membantu warga yang mengalami masalah.
“Yang sangat menonjol dari beliau yaitu sikapnya yang low profile, sabar namun punya pendirian dan mudah sekali tergerak hatinya untuk menolong orang lain,” tutur H. Taufik, salah satu rekan yang mengaku dekat dengan Nung Atong.
Bahkan karena keihlasannya membantu orang lain itu, Nun Atong selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk semua warga. Kiai Mutawakkil bahkan mengistilahkan, kediaman Nun Atong di Jl Raya Genggong selalu open house. Selalu terbuka untuk warga yang datang, bahkan hingga larut malam sekalipun.
Karena itu, warga yang mempunyai masalah selalu menemui Nun Atong. Bahkan, Kiai Mutawakkil sendiri mengaku sering mengarahkan warga yang mempunyai masalah untuk minta bantuan pada Nun Atong.
Kebiasaannya itu baru dihentikan ketika dia mengidap komplikasi jantung dan sempat dirawat di Surabaya, sekitar empat bulan yang lalu. Sekitar satu bulan terakhir, kesehatan Nun Atong terus membaik. Karena itu, kebiasannya menerima warga kembali dilakukan. Bahkan, dia sempat menghadiri peresmian sebuah jembatan di Desa Selogudig yang dihadiri Wagub Jawa Timur Sunarjo, beberapa waktu lalu.
Selain kedekatannya dengan warga, Nun Atong yang meninggalkan seorang istri dan dua orang anak juga dikenal punya pendirian kuat. Tidak heran, dia sempat menjadi salah satu tokoh masyarakat yang berada di barisan paling depan saat menenangkan warga yang akan merusak rumah yang menjadi pusat Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam, milik Ardi Husain di Desa Krampilan, Besuk.
“Saat kasus Ardi Husain mencuat dan warga akan merusak rumah Ardi, beliau ada di barisan paling depan. Beliau salah satu tokoh yang bisa menenangkan warga dan membuat warga tidak berlaku anarkhis. Sampai saat ini fotonya ada dan masih saya simpan di kantor MUI,” tutur H Yasin, sekretaris MUI tentang Nun Atong.
Namun di samping semua itu, Nun Atong telah meninggalkan sebuah tradisi kuat untuk Ponpes Zaha. Semasa hidupnya, dialah perintis lailatul qiroah tahtimul Quran. Sebuah perayaan khataman Alquran dengan cara membaca Alquran bersama-sama secara tartil. Perayaan ini dilakukan tiap tanggal 9 ramadhan dengan mengundang qori’ dan qoriah terkenal di tingkat nasional dan internasional.
Bahkan empat sebelum meninggal, Nun Atong telah membentuk kepanitiaan lailatul qiroah. Tidak hanya itu, menurut Abdurrahman Baali, salah satu rekannya, panitia sudah sepakat untuk mengundang qori’ terkenal di tingkat internasional yaitu KH Humaidi dan Muammar.
Sementara Kiai Mutawakkil mengaku bahwa apa yang dilakukan oleh Nun Atong itu merupakan sebuah isyarah baginya. “Bagi saya itu adalah isyarah yang secara tidak langsung mengatakan agar hastar perjuangannya dilanjutkan,” tutur Kiai Mutawakkil. (JP/hw
Senin, 30 Maret 2009

Genggong Tidak Mengandalkan Rasio Semata
Pada saat-saat yang menggentingkan, ia selalu mendapat tugas penting untuk menyelesaikan masalah. KH Mutawakil demikian ulama ini tidak hanya mengandalkan rasio dalam berfikir namun juga barokah dari ulama sehingga bisa sukses menyelenggarakan berbagai event besar terutama permasalahan kebangsaan
Siapa pun akan terkesima saat memasuki gerbang kompleks Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Jawa Timur. Di situ berdiri kokoh (bangunan permanen) lambang Nahdlatul Ulama (NU) yang cukup besar berukuran sekitar 5 x 4 meter persegi. Di bawah lambang tersebut tertulis, “Selamat Datang di Kota Santri Pesantren Zainul Hasan Genggong.”
Memasuki komplek pesantren ini sangat menyenangkan hati. Tiap pagi dan sore hari, muda-mudi berbusana rapi menyandang kitab suci, hilir mudik silih berganti pulang pergi mengaji. Gambaran penuh nuansa keagamaan yang kental. Pesantren ini sudah berusia 163 tahun, tepatnya didirikan tahun 1839 M/1250 H oleh almarhum KH. Zainul Abidin dari keturunan Maghribi (Maroko) di Desa Karang Bong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo Provinsi Jawa Timur.
Pesantren Zainul Hasan yang kini memiliki sekitar 20.000 santri ini mengalami tiga kali pergantian nama yang bermotifkan kepada sejarah pertumbuhan pesantren dan adanya gagasan untuk menggabadikan para pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan sebelumnya. Perubahan nama ini terjadi pada periode kepemimpinan KH. Hasan Saifourridzal. Nama Pondok Genggong sendiri diabadikan sejak kepemimpinan KH Zainul Abidin sampai kepemimpinan KH. Moh Hasan tahun 1952. Nama pesantren kemudian berganti menjadi “Asrama Pelajar Islam Genggong” dan terakhir “Pesantren Zainul Hasan.”
“Pada tanggal 19 Juli 1959, dalam pertemuan dewan pengurus almukarom KH. Hasan Saifourridzal menetapkan perubahan nama asrama pelajar Islam Genggong menjadi Pesantren Zainul Hasan. Ini hasil perpaduan nama dari tokoh sebelumnya di mana kata Zainul diambil dari nama almarhum KH. Zainul Abidin sebagai pembina pertama dan kata Hasan diambil dari nama almarhum KH. Moh Hasan sebagai pembinan kedua,” kata Pengasuh Pesantren Zainul Hasan, Genggong, KH. Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah.
Pesantren Zainul Hasan kini telah banyak menampakkan perannya sebagai pusat studi Islam di dalam pengembangan misi Islam pada masyarakat luas, sehingga dengan peran serta hanya mengajarkan ilmu agama umum saja. Tetapi dalam kehidupannya para santri banyak mendapatkan kesempatan untuk menghayati dalam kehidupannya sehari-hari, karena kebersatuan Pesantren Zainul Hasan dengan masyarakat itulah maka output pesantren tidak kebingungan meniti hidup dalam mengabdi kepada masyarakat.
Pada periode ketiga mulai tercetus ide-ide dan konsep-konsep baru untuk perkembangan pesantren di segala bidang di dalam ikut serta mengisi kemerdekaan serta ikut menunjang semua program pemerintah dalam perkembangan mental spiritual, ketahanan nasional, persatuan dan kesatuan bangsa lewat media dakwah baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.
Menyadari peranan yang sangat besar dalam menyukseskan pembangunan manusia seutuhnya di samping juga makin meningkatnya kebutuhan hidup seseorang akibat pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, maka Pesantren Zainul Hasan telah melangkah untuk mengadakan pengembangan dan pembaruan dalam segala bidang meliputi perubahan sistem pendidikan, penambahan sarana proses belajar-mengajar, menyempurnakan dan menambah sarana fisik.
Pesantren Zainul Hasan tidak ketinggalan mengikuti pembaruan pendidikan setelah banyak mengkaji dan berhubungan dengan dunia luar. Peranan pondok pesantren sangat besar dalam membangun masyarakat, sehingga para ahli tiada putus-putusnya membicarakan lembaga pendidikan pondok pesantren ini. Untuk mengatasi kekurangan dalam Pesantren Zainul Hasan tumbuh gagasan untuk kesempurnaan dalam pondok pesantren harus ada pendidikan formal, pendidikan keterampilan dan perbaikan struktur kepengurusan dan lain-lain.
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, Pesantren Zainul Hasan berupaya sekuat tenaga terhadap penyempurnaan kebutuhan serta perlengkapan secukupnya, sehingga dapat tercipta adanya peningkatan dan pengembangan pendidikan yang sejajar dengan lembaga-lembaga di luar pokok pesantren melalui perubahan, yakni sistem dan metode yang dipergunakan dalam pendidikan; kurikulum pesantren, Depag dan Diknas dikembangkan 100 persen; administrasi; fasilitas yang cukup dan sarana pendidikan yang memadai.
Menurut KH Mutawakil tipe pesantren di Indonesia ada tiga jenis. Pertama adalah pesantren salaf murni. Ciri-cirinya adalah tidak mau diintervensi oleh dunia luar dalam bentuk apa pun, termasuk kurikulum, intitusi lembaganya, mereka independen. Kedua, setengah-setengah, di satu sisi mencoba mempertahankan budaya dan segala sisi kehidupan salaf tapi di sisi lain juga membuka pintu bagi kebutuhan jaman. Yang ketiga adalah pesantren yang hilang identitasnya, karena ia terlalu membuka diri tanpa filterisasi sehingga kehilangan jati dirinya. Namun pesantren tipe ketiga ini tidak akan happy ending (berakhir baik) dan tidak akan ada kesakralannya.
”Kalau ada pesantren yang fasilitasnya lengkap tetapi tidak ada peminatnya, itu karena identitas dan manfaat ilmu dari pesantren tidak ada. Itu mirip asrama, namun bukan pesantren,” katanya.
Model pesantren model ketiga ini, masih lanjut bapak enam puteri ini hanya akan menjadi lembaga pendidikan yang komersial bukan keikhlasan dari pengelolanya. “Mereka akan mengeluarkan anak-anak pintar, tapi belum tentu benar. Padahal kualitas alumni pesantren menurutnya adalah ahlaknya, hubungannya dengan Allah dalam proses taqarub, ahlaq terhadap guru dan orang tua dan ahlaq sesama dan lingkungan itu khas pesantren salaf,” jelas Kyai Mutawakil.
Sementara di Ponpes Zainul Hasan ini, tujuan pendidikan dan pengajaran diarahkan kepada pembinaan manusia berkarakter Muslim, yaitu manusia Muslim yang berbudi luhur, berpengetahuan luas dan berjiwa ikhlas. Oleh karena itu para santri diharapkan dapat mengembangkan kebebasan berpikir dan ketulusan pengabdiannya, disamping memperoleh pengetahuan yang cukup dalam diri mereka. Out put pendidikan Pesantren Zainul Hasan dititikberatkan kepada pencetakan kader-kader Muslim ahlussunah waljamaah dan menjadi seorang mukmin.
Profil Kyai
Keberhasilan mengembangkan pondok pesantren yang terbilang modern ini tak lepas dari sentuhan profil pengasuh pesantren yakni KH Mohammad Hasan Mutawakil Alallah. Ia adalah seorang kyai yang terbilang dinamis dalam mengembangkan baik sarana fisik pesantren maupun dalam perannya yang dikenal cukup mewarnai dalam dinamika politik kebangsaan.
KH Mutawakil dilahirkan di Genggong, 22 April 1959. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Genggong. Kemudian sempat melanjutkan pesantren di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Namun di pesantren yang diasuh KH Imam itu, tidak lama hanya sembilan bulan saja. Atas saran kedua orang tuanya itu, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah pada Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pondok Pesantren Lirboyo dari tahun 1979-1981. Saat di Lirboyo, Kediri, ia sangat terkesan pada KH Marzuki, KH Mahrus Ali dalam prinsip-prinsip perjuangannya. Saat di Lirboyo, ia sudah menyenangi pelajaran Nahwu, Sharaf, Balaghah (ilmu alat), Ilmu Fiqh, Tafsir dan Hadits.
Selepas itu, ia sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Syari’ah di Universitas Tribakti, Kediri sampai tingkat III. Lulus dari tingkat III (sarjana muda), KH Mutawakil rupa-rupanya punya keinginan untuk mencari pengalaman, apalagi sejak kecil ia hanya menimba pendidikan pesantren. Sehingga ketika dewasa ia ingin menimba pendidikan kampus. Pilihannya pada waktu itu akhirnya jatuh pada Kota Pelajar yakni Jogjakarta.
Sesampai di Jogja, ia kemudian menempuh ujian masuk persamaan di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dan diterima. Namun di UII ia tidak bertahan lama, di tengah kuliahnya ia mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo (Mesir). Setelah menempuh ujian beasiswa ternyata, ia lulus untuk dapat menempuh pendidikan di Universitas terpopuler di belahan negara Timur Tengah itu.
Sebenarnya saat menempuh kuliah di Al Azhar Kairo, ia sudah mulai senang menggemari pelajaran studi. Menurutnya pelajaran yang di Kairo ada beberapa pengembangan aktualisasi,masalah dan pengembangan pandangan yang menurut berbagai persepektif. Selain itu ada kelebihan dari pengajarnya dan adanya praktek langsung di lapangan baik dengan berbahasa Arab maupun Inggris.
Saat menempuh kuliah di Al Azhar, Mesir pada tahun 1983, ia berkesempatan untuk mencari pengalaman study tour ke luar negeri. Misal, ke Frankrut (Jerman), Polandia, Belgia dan Belanda. Saat itu, ia mengambil inisiatif untuk study banding dengan biaya sendiri. Karena pada waktu itu, KH Mutawakil tidak mempunyai biaya yang cukup, ia kemudian mencari tambahan dana dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi pelayan restoran di beberapa negara yang ia kunjungi.
Namun dari studi banding itu, ia mendapat pengalaman berharga. ”Saya melihat hubungan antara hubungan kerja antara buruh dan majikan, ternyata ahlak Islam ternyata ada di Barat, bukan di Saudi. Jadi ahlaq yang ada di Saudi itu tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Walau pun tidak semua, mereka pada kasar. Mereka tidak menghargai, egois dan tidak memberikan hak sepenuhnya pada pekerja. Itu kasusnya banyak, itu saya lihat,” katanya.
Di tengah keasyikannya menuntut ilmu ternyata ia dijemput pulang oleh sang ayahanda, yakni KH. Saifourridzal pada tahun 1985. Setelah dijemput pulang, ia langsung mengajar di Pesantren Zainul Hasan. Tak berapa lama setelah ia pulang, ibunda dan ayandanya pulang ke haribaan Allah SWT.
Salaman Genggong
Namanya cukup dikenal dalam sejarah politik nasional bangsa Indonesia, saat ia ditunjuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk menjembatani pertemuan antara penguasa Orde Baru yakni presiden Soeharto dan Gus Dur dalam waktu tiga bulan soal hasil Muktamar Cipasung. Saat itu hubungan antara tentara dan NU memang sedang gawat-gawatnya. Keberhasilannya menjembatani pertemuan pertemuan besar itu berkat hubungannya dengan keluarga Cendana soal bisnis. Sehingga saat itu terkenal peristiwa “Salaman Genggong”, antara Gus Dur dan Pak Harto pada tahun 1996.
Keberhasilannya mempertemukan dua tokoh yang saling bersebrangan tentu di luar dugaan, karena setelah itu terjadi rekonsiliasi antara NU dengan pemerintah. Kemudian Gus Dur diterima pemerintah. Menurut Kyai yang telah dikaruniai 6 puteri ini, waktu mempertemukan Gus Dur dan Pak Harto banyak tantangannya. Selain harus menempuh prosedur birokrasi yang sangat tebal, ia juga menghadapi warning (peringatan) dari tentara untuk keamanan.
”Bahkan di belakang dan depan rumah saya ada tank. Ternyata setelah acara berlangsung, justeru pak Harto sendiri yang di luar protokoler. Misalnya saat ia transit ke Pondok Genggong menurut protokol tidak lama, ia malah jalan kaki serta berbincang-bincang lama,” katanya.
Peristiwa “Salaman Genggong” menurut KH Mutawakil adalah pelajaran yang penting, sehingga sangat mengesankan dirinya saat ini. “Itu sebuah pelajaran pada saya bahwa kita tidak hanya mengandalkan rasio dan strategi (rasional) namun juga kita harus percaya barokah dari para ulama,” katanya mengenang.
Tokoh yang pernah menjadi ketua RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) tahun 1999-2004 ini dikenal sangat tawadhu terhadap ulama-ulama. Sehingga tak heran, ia sering menjadi tuan rumah event-event besar dalam dinamika politik dan kebangsaan. Seperti dipasrahi oleh PBNU untuk menyelenggarakan Munas I Pagar Nusa. Selain itu ia juga pernah menghidupkan Jami’atul Qura oleh PBNU dengan menyelenggarakan Munas di Genggong.
Dalam ranah politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk wilayah Jawa Timur juga pernah dipasrahkan, sekaligus dideklarasikan di Ponpes Genggong.”Walau selanjutnya saya tidak ikut-ikut,” kata KH Mutawakil dengan senyum khasnya.
Aktivitasnya yang lain adalah saat ini ia menjabat sebagai Wakil Ketua PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur. Di PWNU ia membidangi lembaga hukum, perekonomian dan tenaga kerja. Selain itu saat ini ia juga menjadi Ketua Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) wilayah Jawa Timur.
Khusus di Puskopontren, KH Mutawakil sebenarnya mempunyai keinginan untuk memajukan koperasi pesantren. Namun untuk memajukan kopontren itu tidak mudah, sebagab koperasi pesantren ini selama ini kekurangan SDM yang bisa mengelola ekonomi. “Sebenarnya dengan adanya kopontren yang ada di mana-mana itu sudah merupakan langkah maju untuk menjadikan pesantren sebagai sentral keagamaan, tetapi juga sebagai sentral ekonomi umat. Itu bisa terjadi, maka pesantren akan menjadi benteng paling kuat terhadap ketahanan agama. Memang selama ini Puskopontren ini mengalami stagnasi. Ini karena yang namanya koperasi itu erat kaitannya dengan birokrasi,” kata nya.
Langganan:
Postingan (Atom)