Senin, 30 Maret 2009

Ponpes Zaha Genggong Kehilangan Tokoh Panutan

Probolinggo (GP-Ansor): Satu lagi kiai yang dikenal penyabar dan sangat dekat dengan warga, KH Muhammad Hasan Hafidzul Ahkam atau bisa disapa Nun Atong, telah berpulang untuk selamanya pada Jumat (18/8) lalu. Namun, kenangan akan Nun Atong tetap melekat di hati keluarga, sahabat dan warga yang selama ini dekat dengannya.

Innalillahi wainnailaihirajiun. Keluarga besar Ponpes Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan Kabupaten Probolinggo berduka. Salah satu pengasuhnya yaitu, KH Muhammad Hasan Hafidzul Ahkam atau biasa disapa Nun Atong, meninggal dunia dalam usia 39 tahun. Nun Atong meninggal setelah mengalami anfal akibat komplikasi jantung yang diidapnya sejak beberapa bulan lalu.

Sebelum Magrib atau sekitar pukul 17.00, hari Jumat (18/8) komplikasi jantung yang dialami Nun Atong kambuh. “Setelah mendapat pertolongan pertama, kami segera membawanya ke RSUD Waluyo Jati, Kraksaan,” tutur Gus Haris, keponakan Nun Atong yang berprofesi sebagai dokter.

Namun, selang satu jam kemudian, nyawa Nun Atong menurut Gus Haris tidak tertolong lagi. Dia menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 18.00. Nun Atong meninggalkan seorang istri dan dua anak.

Nun Atong sendiri sebenarnya sudah lama mengidap penyakit itu. Sekitar empat bulan yang lalu, dia sempat dirawat di RS Budi Mulia, Surabaya karena penyakit yang sama. Bahkan, Nun Atong sempat dirawat selama satu bulan di sana.

“Setelah satu bulan dirawat, terus sembuh dan kondisinya mendingan. Baru kemudian pulang. Ternyata tadi (kemarin) tiba-tiba kambuh dan meninggal,” terang KH Muhammad Hasan Syaiful Islam atau biasa disapa Nun Beng.

Gus Haris menambahkan, penyakit jantung memang penyakit yang tidak bisa diduga. “Memang sempat sembuh dan kondisinya membaik. Tapi penyakit jantung kan tidak bisa ditebak. Bisa kambuh sewaktu-waktu dan mendadak, seperti saat ini. Mungkin kondisinya parah sehingga tidak bisa tertolong,” katanya
Adik kandung KH Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah ini dimakamkan hari Sabtu (19/8) di pemakaman keluarga besar Ponpes Zainul Hasan. Kebetulan letaknya masih di dalam kompleks ponpes.

Ini dilakukan untuk menunggu keluarga lain datang. Juga menunggu keluarga yang menjemput dan memberitahu kedua anak Nun Atong. “Saat ini anak-anaknya sedang dijemput. Kebetulan anak-anaknya mondok di Lirboyo Kediri. Jadi pemakamannya tidak bisa dilakukan sekarang,” lanjut Gus Haris.

Siang itu sekitar pukul 09.50, pemakaman Nun Atong di asta, komplek pemakaman untuk keluarga besar Ponpes Zainul Hasan Genggong Kabupaten Probolinggo, dilakukan. Ribuan pelayat membanjiri pemakaman KH Muhamad Hasan Hafidzul Ahkam di Ponpes Zainul Hasan (Zaha), Genggong, Pajarakan. Tidak hanya sahabat dan saudara, warga, pejabat, ulama, dan tokoh masyarakat, menghadiri pemakaman Nun Atong, panggilannya. Mereka semua berkumpul dalam suasana khidmat di halaman tengah ponpes itu.

Beberapa ulama, tokoh masyarakat dan pejabat yang hadir antara lain, pengasuh Ponpes Nurul Jadid Paiton KH Zuhri Zaini, pengasuh Ponpes Nurul Qodim Paiton Nuruddin Busyiri, pengasuh Ponpes Riyadlus Sholihin Kota Probolinggo Habib Hadi, Ketua MUI KH Fauzi Imron, dan Sekretaris MUI H. Yasin. Juga hadir Kapolres Probolinggo AKBP Nana Sudjana, Ketua DPC PPP kabupaten H Mahdi, Kasat IPP Polres AKP Ridwan dan masih banyak yang lain.

Warga yang melayat menurut Taufik, warga sekitar, sudah berdatangan di area ponpes sejak Jumat malam. Dan sekitar pukul 05.00, Jl Raya Genggong yang melintasi Ponpes Zaha sudah dipenuhi pelayat dari berbagai daerah. “Mulai tadi malam sudah banyak yang datang. Dan pukul 05.00 waktu saya lewat sini, sudah banyak sekali pelayat yang datang,” tuturnya.

Pemakaman sendiri dilakukan lebih cepat sekitar setengah jam dari jadwal semula yang direncanakan pukul 10.00. Seluruh keluarga besar Ponpes Zaha hadir. Antara lain istri almarhum, Hj Aina Hamami dan dua putrinya, Via, 14, dan Nilna, 13. Termasuk Hj Diana Susilowati atau Ning Sus dan KH Muhamad Hasan Mutawakkil Alallah, mereka adalah dua saudara tertua diantara putra-putri almarhum KH Muhamad Hasan Syaifourridzal.

Jenazah Nun Atong diberangkatkan dari kediamannya, di Jl Raya Genggong dengan diiringi ribuan pelayat yang mengumandangkan tahlil. Saat itu, suasana duka sangat terasa di seluruh area Ponpes Zaha. Semua pelayat yang mengantar larut dalam kesedihan.

Maklum, semasa hidupnya Nun Atong memang dikenal sangat dekat dengan masyarakat. Dia juga dikenal ringan tangan dan sering membantu warga yang kesusahan tanpa mengenal pamrih.

Almarhum sendiri dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga besar Ponpes Zaha atau dikenal dengan sebutan asta, tidak jauh dari masjid di halaman tengah ponpes. Lokasinya sekitar 500 meter dari kediamannya.

Sementara jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam ayahandanya, almarhum KH Muhamad Hasan Syaifurridzal. Juga tidak jauh dari makam kiai sepuh, KH Muhamad Hasan, KH Sholeh Nahrawi dan mendiang suami Ning Sus, KH Damanhuri Romli.

Selama sekitar satu jam, warga khikmad mengikuti proses pemakaman hingga usai. Mereka semua baru berangsur-angsur beranjak dari lokasi ponpes sekitar pukul 12.00.

Ditemui usai pemakaman, Mutawakkil mengatakan, kepergian Nun Atong membuat dirinya merasa sangat kehilangan. “Di mata saya, beliau orang yang sangat sabar dan mengabdi pada umat. Meninggalnya beliau jelas membuat saya berduka,” katanya.

Namun, yang paling penting menurutnya saat ini yaitu memperhatikan orang-orang terdekat yang ditinggalkan Nun Atong, yaitu kedua putrinya Via dan Nilna. “Yang paling penting adalah putri-putri beliau yang masih kecil,” kata Mutawakkil.

Karena itu, Mutawakkil minta dukungan doa dari seluruh umat agar istri dan dua putri Nun Atong yang ditinggalkan dikaruniai ketabahan. “Semoga dengan cobaan yang berat ini mereka semakin tabah, kuat, dan tahan dengan ujian hidup,” tuturnya.
Ucapan belasungkawa atas meningalnya Nun Atong diterima keluarganya, ada Hj Diana Susilowati, KH Muhammad Hasan Mutawakkil Alallah, KH Muhammad Hasan Syaiful Islam, ketiganya saudara Nun Atong. Ketiganya bergantian menerima pelayat yang terus mengalir.

Kiai Mutawakkil atau biasa disapa Nun Gudel dan Kiai Syaiful Islam atau biasa disapa Nun Beng, menerima pelayat di ruang tengah rumah induk di komplek ponpes itu. Keduanya ditemani keponakan mereka, Gus Haris. Sementara di ruang dalam, para pelayat perempuan diterima oleh Ning Sus, sapaan akrab Hj Diana Susilowati.

Wajah sedih masih terlihat jelas di wajah para saudara Nun Atong, terutama Kiai Mutawakkil. Walau tidak terlihat tetesan air, namun keduanya matanya terlihat sembab. Meski demikian, dia tetap sabar menerima pelayat yang datang. Termasuk wartawan yang ingin bicara dengannya.

“Mari silahkan duduk di sini. Ada yang bisa saya bantu?” Begitu sambutan ramah Kiai Mutawakkil pada beberapa wartawan yang datang. Dan tidak lama kemudian, Kiai Mutawakkil mengungkapkan rasa duka karena ditinggal adiknya itu.

Bagi Kiai Mutawakkil, Nun Atong adalah saudara yang selalu bersedia saat dimintai bantuan untuk menggantikan tugas-tugasnya. Terutama semua tugas yang berkaitan dengan pengabdian pada ummat. “Dia tidak pernah menolak atau mengeluh. Bahkan, dia selalu menawarkan diri untuk membantu tugas-tugas yang tidak bisa saya lakukan sendiri,” katanya.

Ibarat sebuah tubuh, Nun Atong adalah tangan kanan bagi Kiai Mutawakkil. “Bukan hanya dekat, selama ini beliau sangat dekat dengan saya. Bahkan bisa dikatakan sebagai tangan kanan saya,” sambungnya.

Tidak hanya Kiai Mutawakkil yang memiliki kenangan khusus terhadap Nung Atong. Beberapa rekannya juga merasakan hal yang sama. Dan itu semua tidak lepas dari sikap dan kepribadian Nun Atong yang dikenal low profile atau rendah hati, penyabar dan suka menolong tanpa mengenal pamrih.

Karena sifat-sifat yang dimilikinya itu, Nun Atong pun dikenal memiliki basis massa yang kuat. Dia dikenal sangat dekat dengan warga dan selalu bersedia membantu warga yang mengalami masalah.

“Yang sangat menonjol dari beliau yaitu sikapnya yang low profile, sabar namun punya pendirian dan mudah sekali tergerak hatinya untuk menolong orang lain,” tutur H. Taufik, salah satu rekan yang mengaku dekat dengan Nung Atong.

Bahkan karena keihlasannya membantu orang lain itu, Nun Atong selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk semua warga. Kiai Mutawakkil bahkan mengistilahkan, kediaman Nun Atong di Jl Raya Genggong selalu open house. Selalu terbuka untuk warga yang datang, bahkan hingga larut malam sekalipun.

Karena itu, warga yang mempunyai masalah selalu menemui Nun Atong. Bahkan, Kiai Mutawakkil sendiri mengaku sering mengarahkan warga yang mempunyai masalah untuk minta bantuan pada Nun Atong.

Kebiasaannya itu baru dihentikan ketika dia mengidap komplikasi jantung dan sempat dirawat di Surabaya, sekitar empat bulan yang lalu. Sekitar satu bulan terakhir, kesehatan Nun Atong terus membaik. Karena itu, kebiasannya menerima warga kembali dilakukan. Bahkan, dia sempat menghadiri peresmian sebuah jembatan di Desa Selogudig yang dihadiri Wagub Jawa Timur Sunarjo, beberapa waktu lalu.

Selain kedekatannya dengan warga, Nun Atong yang meninggalkan seorang istri dan dua orang anak juga dikenal punya pendirian kuat. Tidak heran, dia sempat menjadi salah satu tokoh masyarakat yang berada di barisan paling depan saat menenangkan warga yang akan merusak rumah yang menjadi pusat Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam, milik Ardi Husain di Desa Krampilan, Besuk.

“Saat kasus Ardi Husain mencuat dan warga akan merusak rumah Ardi, beliau ada di barisan paling depan. Beliau salah satu tokoh yang bisa menenangkan warga dan membuat warga tidak berlaku anarkhis. Sampai saat ini fotonya ada dan masih saya simpan di kantor MUI,” tutur H Yasin, sekretaris MUI tentang Nun Atong.

Namun di samping semua itu, Nun Atong telah meninggalkan sebuah tradisi kuat untuk Ponpes Zaha. Semasa hidupnya, dialah perintis lailatul qiroah tahtimul Quran. Sebuah perayaan khataman Alquran dengan cara membaca Alquran bersama-sama secara tartil. Perayaan ini dilakukan tiap tanggal 9 ramadhan dengan mengundang qori’ dan qoriah terkenal di tingkat nasional dan internasional.

Bahkan empat sebelum meninggal, Nun Atong telah membentuk kepanitiaan lailatul qiroah. Tidak hanya itu, menurut Abdurrahman Baali, salah satu rekannya, panitia sudah sepakat untuk mengundang qori’ terkenal di tingkat internasional yaitu KH Humaidi dan Muammar.

Sementara Kiai Mutawakkil mengaku bahwa apa yang dilakukan oleh Nun Atong itu merupakan sebuah isyarah baginya. “Bagi saya itu adalah isyarah yang secara tidak langsung mengatakan agar hastar perjuangannya dilanjutkan,” tutur Kiai Mutawakkil. (JP/hw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar